pranoto mongso

Jumat, 24 September 2010

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2010/2011 DI INDONESIA


PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2010/2011 DI INDONESIA
[31/8/2010]


Prakiraan Musim Hujan 2010/2011 ini memuat informasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2010/2011, Perbandingan antara Prakiraan Awal Musim Hujan 2010/2011 terhadap Rata-Rata atau Normalnya selama 30 tahun (1971-2000), dan Prakiraan Sifat Hujan selama periode Musim Hujan 2010/2011.
Berdasarkan pengelompokan pola distribusi curah hujan rata-rata bulanan di seluruh wilayah Indonesia, maka secara klimatologis wilayah Indonesia terdiri atas :

a. Daerah-daerah yang mempunyai batas yang jelas antara periode musim hujan dan
periode musim kemarau, yang selanjutnya disebut daerah Zona Musim ( ZOM )
b. Daerah-daerah yang tidak mempunyai batas yang jelas antara periode musim hujan
dan musim kemarau, yang selanjutnya disebut daerah Non Zona Musim (Non ZOM)

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data periode 30 tahun (tahun 1971 – 2000), wilayah Indonesia terdiri atas 220 Zona Musim (ZOM), yaitu Sumatera 26 ZOM, Jawa 94 ZOM, Bali 13 ZOM, Nusa Tenggara Barat 14 ZOM, Nusa Tenggara Timur 20 ZOM, Kalimantan 16 ZOM, Sulawesi 22 ZOM, Kepulauan Maluku 8 ZOM dan Papua 7 ZOM.

Prakiraan Musim Hujan 2010/2011 ini selain memuat informasi Prakiraan Musim Hujan 2010/2011 untuk 220 ZOM, juga menyajikan informasi Prakiraan Curah Hujan Periode Oktober 2010 – Maret 2011 untuk 73 daerah di luar Zona Musim (Non ZOM).

Selanjutnya, di dalam Prakiraan Musim Hujan 2010/2011 ini disajikan pula informasi estimasi luas areal persawahan berkaitan dengan Prakiraan Musim Hujan 2010/2011, baik terhadap Prakiraan Awal Musim Hujan 2010/2011 maupun terhadap Sifat Hujannya.
sumber :

Rabu, 08 September 2010

KKP JAMIN KETERSEDIAAN IKAN SELAMA LEBARAN

KKP JAMIN KETERSEDIAAN IKAN SELAMA LEBARAN

01/09/2010 - Kategori : Siaran Pers
No. B.100/PDSI/HM.310/VIII/2010

KKP JAMIN KETERSEDIAAN IKAN SELAMA LEBARAN

Stok ikan menjelang, pada saat dan sesudah lebaran dinilai dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad dalam acara Chief Editors Meeting di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hari ini (31/8) menyatakan, kecukupan ikan selama lebaran dikarenakan sebagian besar pedagang ikan telah menyiapkan persediaan ikan pada cold storage untuk menghindari terjadinya kenaikkan permintaan dan berkurangnya pasokan ikan. seperti di beberapa kota terjadi peningkatan penawaran untuk produk olahan kaleng di Serang, Bandung dan Yogyakarta.

Menurut Fadel, selama bulan ramadhan, suplai ikan segar maupun olahan dari nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan ke pasar tradisional maupun modern, mengalami penurunan. Fadel mencontohkan ketersedian ikan di pasar Jakarta, Serang, dan Bandung cenderung menurun 20 hingga 30 persen namun dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pada saat lebaran. Sedangkan untuk pasar Surabaya, Semarang, & Yogyakarta masih relatif aman dan stabil. Stabilitas ketersediaan ikan pada saat lebaran tidak lepas dari dominasi daging dan ayam sebagai menu untuk peringatan hari raya keagamaan tersebut.

“Ikan masih belum menjadi menu pilihan pada saat lebaran, sehingga kampanye gemar makan ikan harus terus dilakukan di berbagai daerah”, tambah Fadel. Apabila dibandingkan dengan menu lainnya seperti daging yang memerlukan ritual khusus dalam penyembelihan, ikan secara nutrisi lebih unggul serta sesuai untuk balita hingga manula. Ketersediaan omega 3, 6, dan 9 pada ikan memberikan beberapa manfaat seperti: tumbuh kembang bayi lebih cepat, anak balita lebih aktif dan cerdas, serta terhindar dari beberapa penyakit. Ikan juga membutuhkan hanya sedikit energi untuk memasaknya, berbeda dengan daging yang membutuhkan lebih banyak energi. Segmen ikan juga beragam, artinya ikan dapat memenuhi berbagai kelompok masyarakat. Disamping itu, ikan tersedia sepanjang tahun di seluruh wilayah Indonesia, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan telah berkembang serta harga beberapa jenis ikan relatif lebih murah dari daging sapi. “Daging sapi kan masih belum swasembada, dengan sentra produksi yang masih terbatas maka Indonesia saat ini masih mengimpor 30 persen kebutuhan sapi dalam negeri”, tambah Fadel.

Tahun 2009 lalu sekitar 80 ribu ton daging sapi atau senilai US$ 480 juta diimpor ke Indonesia. Pada tahun 2008, Indonesia merupakan importir sapi terbesar bagi Australia. Apabila dibandingkan dengan produk perikanan, Indonesia masih tergolong sebagai negara eksportir ikan, meskipun nilainya masih dibawah Thailand dan Vietnam. Untuk impor produk perikanan pada tahun 2009, meski cenderung mengalami peningkatan, namun volumenya masih berada dibawah 5 persen dari kebutuhan domestik atau sekitar 144 ribu ton. Secara nasional konsumsi bahan pangan hewani berbahan perikanan lebih dari 50 persen dibandingkan komoditas lainnya (daging mamalia, daging unggas, telur, dan susu).

Meningkatkan konsumsi ikan nasional berperan penting dalam penyediaan sumber protein hewani. Secara tidak langsung program ini juga dapat meningkatkan ketahanan pangan dan kemandirian pangan, sehingga dapat menghindari ketergantungan pada pihak asing. Dalam rangka meningkatkan konsumsi ikan di bulan ramadhan, Kementerian Kelautan dan Perikanan melaksanakan bazaar dan peduli ramadhan, diantaranya di Bandung, Bogor, Banten, Jakarta, Surabaya, Gresik, dan Semarang.

Akhirnya kiranya ikan merupakan solusi yang tebaik untuk food security maupun nutrition security. Disamping kita dapat mempertimbangkan dibulan ramadhan ini, bahwa ikan adalah merupakan makanan yang pasti halal, dan disebut dalam Al-Qur’an sebagai hidangan yang lezat dan segar (An-Nahl:14 dan Al-Maidah:96).



Jakarta, 31 Agustus 2010
Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi







Dr. Soen’an H. Poernomo, M.Ed

Narasumber

1. Prof. Dr. Martani Husaini
Direktur Jenderal P2HP (HP. 0811119705)
2. Dr. Soen’an H. Poernomo, M.Ed.
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi (HP. 08161933911)

Rabu, 01 September 2010

Strategi Menghadapi Dampak Fenomena Iklim

tanpa bermaksud pornografi, pornoaksi, tetapi ini
bukti dampak nyata perubahan iklim!!!!!



Strategi Menghadapi Dampak Fenomena Iklim

Keadaan alam saat ini telah mengalami perubahan sehingga berpengaruh bagi kehidupan, berbagai sektor yang terpengaruh oleh alam antara lain pertanian. sebagai dampaknya maka terjadi perubahan pola tanam dan penentuan komoditas pertanian yang akan dibudidayakan oleh petani. sebagai contoh di Kecamatan Parakan Temanggung telah terjadi perubahan komoditas seperti yang tadinya menanam tembakau, sekarang mulai berubah menanam komoditas sayuran seperti cabai, tomat, kobis, dll. walaupun masih ada petani yang fanatik menanam tembakau.

Pada kondisi iklim ekstrim, curah hujan secara nyata jauh diatas normal (AN) atau dibawah normal (BN), baik jumlah maupun lama (durasi), serta awal dan akhir musim. Berdasarkan pengalaman, pengaruh kejadian iklim ekstrim seringkali menyebabkan pergeseran awal tanam dan penurunan luas areal tanam, kekeringan, gagal panen dan penurunan produksi pangan, serta menstimulasi ledakan (outbreak) beberapa OPT utama tanaman, seperti tikus, penggerek batang, wereng coklat dan tungro.

Pengalaman yang berulang kali terjadi, hampir tidak pernah dapat diantisipasi secara efektif, hal ini disebabkan karena system prediksi yang belum efektif, juga disebabkan oleh keterbatasan informasi dan pedoman serta system penyampaian informasi yang belum memadai.

Upaya pengamanan produksi pangan akibat fenomena iklim ekstrim dapat bersifat mitigatif, yang meliputi tahapan antisipatif, penanggulangan dan pemulihan. Kemajuan dan perkembangan system analisis dan teknologi prediksi iklim yang sangat pesat, memungkinkan tindakan antisipasi sebagai upaya paling efektif dapat dilakukan. Namun demikian, tindakan yang bersifat mitigatif akan lebih efisien untuk tahapan-tahapan antisipasi, penanggulangan maupun pemulihan ke depan.

Fenomena, Dinamika dan Dampak Iklim Ekstrim

Wilayah Indonesia secara umum memiliki tiga pola hujan (Boerema, 1938), yaitu pola monsoon (puncak musim hujan terjadi sekitar bulan Desember/Januari), pola ekuatorial (dicirikan oleh dua puncak musim hujan yaitu sekitar Maret dan Oktober), dan pola lokal (puncak musim hujan terjadi sekitar bulan Juli/Agustus). Pola lokal merupakan kebalikan dari pola monsoon.

{mosimage} Kejadian iklim ekstrim yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan karena terjadinya fenomena global (seperti ENSO di kawasan lautan Pasifik dan IOD di lautan India). Indikator yang digunakan untuk mengetahui apakah fenomena ini sedang berlangsung atau tidak ialah kondisi penyimpangan (anomali) suhu muka laut dari nilai rata-rata di wilayah NINO-3.4.

Untuk memahami dampak kejadian iklim ekstrim di sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, perlu pemahaman sifat dari kejadian iklim ekstrim tersebut, diantaranya waktu, intensitas, dan frekwensi kejadiannya, termasuk pola tanam, jenis tanaman dan sistem pengelolaannya.

Petani tanaman pangan seringkali menggunakan indikator masuknya musim hujan dari kejadian hujan. Apabila waktu sudah memasuki bulan-bulan hujan dan kemudian terjadi hujan 1 – 2 hari berturut-turut biasanya petani sudah menganggap musim hujan sudah mulai dan kegiatan penanaman mulai dilakukan. Namun, pada kondisi tertentu, hujan yang terjadi tersebut bisa bersifat tipuan saja (false rain), karena kemudian diikuti oleh tidak ada hari hujan selama kurun waktu yang cukup panjang (lebih dari dua dasarian) atau yang disebut dengan long dry spell. Akibat dari kondisi ini, petani yang sudah terlanjur tanam akan terkena kekeringan. Seperti yang disebutkan diatas, kondisi ini juga bisa terjadi pada pertengahan musim hujan yang disebut dengan ”season break”. Kejadian ini sering terjadi di wilayah kawasan timur Indonesia.

Pertanaman yang terkena kekeringan terjadi pada musim kemarau adalah akibat dari musim hujan yang berakhir lebih cepat atau akibat dari menurunnya tingkat curah hujan pada musim kemarau jauh di bawah normal. Pada umumnya kejadian kekeringan tersebut lebih luas apabila dibandingkan dengan kekeringan yang diakibatkan oleh kejadian false rain atau season break. Kondisi seperti yang sudah diuraikan diatas biasanya terjadi pada saat fenomena El-Nino berlangsung, dan kekeringan yang terjadi sebagai akibat curah hujan bersifat di bawah normal (BN), sehingga ketersediaan air tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan tanaman selanjutnya. Kejadian kekeringan semacam ini tidak hanya terjadi di sawah tadah hujan tetapi juga di sawah beririgasi, khususnya yang berada di wilayah irigasi bagian ujung (Golongan III dan IV).

Besar kecilnya dampak kejadian iklim ekstrim terhadap produksi tanaman pangan sangat bergantung pada sifat dari kejadian iklim ekstrim tersebut, yaitu yang menyangkut waktu terjadinya, intensitas dan lamanya.Apabila terjadinya pada saat fase pertumbuhan tanaman sensitif terhadap cekaman iklim maka dampaknya tidak akan besar walaupun lama berlangsungnya kejadian ekstrim tersebut hanya sebentar. Sebaliknya apabila terjadi pada fase pertumbuhan yang tidak sensitif, maka dampaknya tidak akan besar, kecuali bila kondisi ekstrim tersebut berlangsung lama sehingga melewati batas toleransi tanaman. Uraian ini menunjukkan bahwa sifat kejadian iklim ekstrim, bentuk pola tanam dan teknologi budidaya yang digunakan merupakan faktor utama yang menentukan besar kecilnya dampak. Namun demikian, kondisi infrastruktur dan ketersediaan sarana prasarana penunjang, kesiapan kelembagaan dalam melakukan langkah antisipasi juga menentukan tingkat besar kecilnya dampak.

Tingkat dampak yang ditimbulkan ditentukan beberapa hal, diantaranya sifat kejadian iklim ekstrim, dan hubungan sifat kejadian iklim ekstrim dan kejadian kekeringan dan banjir.

Strategi Mitigasi

Tahapan dalam mitigasi dampak meliputi tahap antisipasi, tahap penanggulangan, dan tahap pemulihan. Tahap antisipasi merupakan upaya pencegahan untuk menghindari atau mencegah pengaruh yang merugikan dari ancaman bahaya/bencana. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk antisipasi kejadian iklim ekstrim adalah penyampaian informasi prakiraan iklim ke daerah, pemetaan wilayah rawan banjir dan kekeringan, pemahaman terhadap informasi prakiraan iklim/musim, penguatan sistem kelembagaan dalam penyampaian informasi prakiraan iklim.

{mosimage} Sedangkan untuk tahap penanggulangan dampak meliputi strategi mitigasi, diantaranya penerapan teknologi budidaya sesuai kondisi iklim spesifik lokasi, pemilihan varietas, pengolahan tanah dan pengelolaan irigasi, pengendalian OPT, dengan memperhitungkan informasi iklim misalnya awal musim hujan dan sifatnya, perbaikan sarana prasarana irigasi, panen air dan menyimpan air, gerakan hemat air, konservasi lingkungan dan daerah tangkapan air.

Selain itu, perlu adanya penguatan kelembagaan baik di dalam departemen maupun antar departemen, karena tidak dapat dipungkiri bahwa dampak kejadian iklim tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak (departemen) saja, dan harus diselesaikan secara bersama dan serius. Dan peningkatan kemampuan pengetahuan SDM tingkat lapangan serta para petani sangat penting.

Departemen Pertanian pada tahun 2007 ini telah melakukan upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan SDM tersebut melalui Sekolah Lapang PHT dan Sekolah Lapangan Iklim (SLI) hampir diseluruh kabupaten di Indonesia. Sehingga diharapkan permasalahan kehilangan hasil akibat dampak fenomena iklim (banjir, kekeringan, OPT, dll.) dapat diminimalisir. Semoga...***
Sumber tulisan: Ir. Endang Titi Purwani, MM; Kasie Mitigasi Dampak Iklim, Subdit AMDI Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. (Tulisan tersebut dimuat di Sinar Tani Edisi No.2/2007 halaman 15).
by:mzt14n