pranoto mongso

Rabu, 01 September 2010

Strategi Menghadapi Dampak Fenomena Iklim

tanpa bermaksud pornografi, pornoaksi, tetapi ini
bukti dampak nyata perubahan iklim!!!!!



Strategi Menghadapi Dampak Fenomena Iklim

Keadaan alam saat ini telah mengalami perubahan sehingga berpengaruh bagi kehidupan, berbagai sektor yang terpengaruh oleh alam antara lain pertanian. sebagai dampaknya maka terjadi perubahan pola tanam dan penentuan komoditas pertanian yang akan dibudidayakan oleh petani. sebagai contoh di Kecamatan Parakan Temanggung telah terjadi perubahan komoditas seperti yang tadinya menanam tembakau, sekarang mulai berubah menanam komoditas sayuran seperti cabai, tomat, kobis, dll. walaupun masih ada petani yang fanatik menanam tembakau.

Pada kondisi iklim ekstrim, curah hujan secara nyata jauh diatas normal (AN) atau dibawah normal (BN), baik jumlah maupun lama (durasi), serta awal dan akhir musim. Berdasarkan pengalaman, pengaruh kejadian iklim ekstrim seringkali menyebabkan pergeseran awal tanam dan penurunan luas areal tanam, kekeringan, gagal panen dan penurunan produksi pangan, serta menstimulasi ledakan (outbreak) beberapa OPT utama tanaman, seperti tikus, penggerek batang, wereng coklat dan tungro.

Pengalaman yang berulang kali terjadi, hampir tidak pernah dapat diantisipasi secara efektif, hal ini disebabkan karena system prediksi yang belum efektif, juga disebabkan oleh keterbatasan informasi dan pedoman serta system penyampaian informasi yang belum memadai.

Upaya pengamanan produksi pangan akibat fenomena iklim ekstrim dapat bersifat mitigatif, yang meliputi tahapan antisipatif, penanggulangan dan pemulihan. Kemajuan dan perkembangan system analisis dan teknologi prediksi iklim yang sangat pesat, memungkinkan tindakan antisipasi sebagai upaya paling efektif dapat dilakukan. Namun demikian, tindakan yang bersifat mitigatif akan lebih efisien untuk tahapan-tahapan antisipasi, penanggulangan maupun pemulihan ke depan.

Fenomena, Dinamika dan Dampak Iklim Ekstrim

Wilayah Indonesia secara umum memiliki tiga pola hujan (Boerema, 1938), yaitu pola monsoon (puncak musim hujan terjadi sekitar bulan Desember/Januari), pola ekuatorial (dicirikan oleh dua puncak musim hujan yaitu sekitar Maret dan Oktober), dan pola lokal (puncak musim hujan terjadi sekitar bulan Juli/Agustus). Pola lokal merupakan kebalikan dari pola monsoon.

{mosimage} Kejadian iklim ekstrim yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan karena terjadinya fenomena global (seperti ENSO di kawasan lautan Pasifik dan IOD di lautan India). Indikator yang digunakan untuk mengetahui apakah fenomena ini sedang berlangsung atau tidak ialah kondisi penyimpangan (anomali) suhu muka laut dari nilai rata-rata di wilayah NINO-3.4.

Untuk memahami dampak kejadian iklim ekstrim di sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, perlu pemahaman sifat dari kejadian iklim ekstrim tersebut, diantaranya waktu, intensitas, dan frekwensi kejadiannya, termasuk pola tanam, jenis tanaman dan sistem pengelolaannya.

Petani tanaman pangan seringkali menggunakan indikator masuknya musim hujan dari kejadian hujan. Apabila waktu sudah memasuki bulan-bulan hujan dan kemudian terjadi hujan 1 – 2 hari berturut-turut biasanya petani sudah menganggap musim hujan sudah mulai dan kegiatan penanaman mulai dilakukan. Namun, pada kondisi tertentu, hujan yang terjadi tersebut bisa bersifat tipuan saja (false rain), karena kemudian diikuti oleh tidak ada hari hujan selama kurun waktu yang cukup panjang (lebih dari dua dasarian) atau yang disebut dengan long dry spell. Akibat dari kondisi ini, petani yang sudah terlanjur tanam akan terkena kekeringan. Seperti yang disebutkan diatas, kondisi ini juga bisa terjadi pada pertengahan musim hujan yang disebut dengan ”season break”. Kejadian ini sering terjadi di wilayah kawasan timur Indonesia.

Pertanaman yang terkena kekeringan terjadi pada musim kemarau adalah akibat dari musim hujan yang berakhir lebih cepat atau akibat dari menurunnya tingkat curah hujan pada musim kemarau jauh di bawah normal. Pada umumnya kejadian kekeringan tersebut lebih luas apabila dibandingkan dengan kekeringan yang diakibatkan oleh kejadian false rain atau season break. Kondisi seperti yang sudah diuraikan diatas biasanya terjadi pada saat fenomena El-Nino berlangsung, dan kekeringan yang terjadi sebagai akibat curah hujan bersifat di bawah normal (BN), sehingga ketersediaan air tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan tanaman selanjutnya. Kejadian kekeringan semacam ini tidak hanya terjadi di sawah tadah hujan tetapi juga di sawah beririgasi, khususnya yang berada di wilayah irigasi bagian ujung (Golongan III dan IV).

Besar kecilnya dampak kejadian iklim ekstrim terhadap produksi tanaman pangan sangat bergantung pada sifat dari kejadian iklim ekstrim tersebut, yaitu yang menyangkut waktu terjadinya, intensitas dan lamanya.Apabila terjadinya pada saat fase pertumbuhan tanaman sensitif terhadap cekaman iklim maka dampaknya tidak akan besar walaupun lama berlangsungnya kejadian ekstrim tersebut hanya sebentar. Sebaliknya apabila terjadi pada fase pertumbuhan yang tidak sensitif, maka dampaknya tidak akan besar, kecuali bila kondisi ekstrim tersebut berlangsung lama sehingga melewati batas toleransi tanaman. Uraian ini menunjukkan bahwa sifat kejadian iklim ekstrim, bentuk pola tanam dan teknologi budidaya yang digunakan merupakan faktor utama yang menentukan besar kecilnya dampak. Namun demikian, kondisi infrastruktur dan ketersediaan sarana prasarana penunjang, kesiapan kelembagaan dalam melakukan langkah antisipasi juga menentukan tingkat besar kecilnya dampak.

Tingkat dampak yang ditimbulkan ditentukan beberapa hal, diantaranya sifat kejadian iklim ekstrim, dan hubungan sifat kejadian iklim ekstrim dan kejadian kekeringan dan banjir.

Strategi Mitigasi

Tahapan dalam mitigasi dampak meliputi tahap antisipasi, tahap penanggulangan, dan tahap pemulihan. Tahap antisipasi merupakan upaya pencegahan untuk menghindari atau mencegah pengaruh yang merugikan dari ancaman bahaya/bencana. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk antisipasi kejadian iklim ekstrim adalah penyampaian informasi prakiraan iklim ke daerah, pemetaan wilayah rawan banjir dan kekeringan, pemahaman terhadap informasi prakiraan iklim/musim, penguatan sistem kelembagaan dalam penyampaian informasi prakiraan iklim.

{mosimage} Sedangkan untuk tahap penanggulangan dampak meliputi strategi mitigasi, diantaranya penerapan teknologi budidaya sesuai kondisi iklim spesifik lokasi, pemilihan varietas, pengolahan tanah dan pengelolaan irigasi, pengendalian OPT, dengan memperhitungkan informasi iklim misalnya awal musim hujan dan sifatnya, perbaikan sarana prasarana irigasi, panen air dan menyimpan air, gerakan hemat air, konservasi lingkungan dan daerah tangkapan air.

Selain itu, perlu adanya penguatan kelembagaan baik di dalam departemen maupun antar departemen, karena tidak dapat dipungkiri bahwa dampak kejadian iklim tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak (departemen) saja, dan harus diselesaikan secara bersama dan serius. Dan peningkatan kemampuan pengetahuan SDM tingkat lapangan serta para petani sangat penting.

Departemen Pertanian pada tahun 2007 ini telah melakukan upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan SDM tersebut melalui Sekolah Lapang PHT dan Sekolah Lapangan Iklim (SLI) hampir diseluruh kabupaten di Indonesia. Sehingga diharapkan permasalahan kehilangan hasil akibat dampak fenomena iklim (banjir, kekeringan, OPT, dll.) dapat diminimalisir. Semoga...***
Sumber tulisan: Ir. Endang Titi Purwani, MM; Kasie Mitigasi Dampak Iklim, Subdit AMDI Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. (Tulisan tersebut dimuat di Sinar Tani Edisi No.2/2007 halaman 15).
by:mzt14n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar